Memang, sesuai fungsinya, sepatu digunakan sebagai alas kaki dan tidak masuk ke dalam tubuh manusia. Menurut syariat Islam, babi dengan segala turunannya, termasuk kulitnya adalah haram serta najis yang harus dihindari.
Sepatu termasuk barang gunaan yang wajib bersertifikat halal.
Terkait hal ini, barang gunaan dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, barang gunaan yang pemakaiannya berkontak langsung dengan produk yang dikonsumsi. Produk ini harus disertifikasi halal karena dapat mengontaminasi makanan halal.
Kelompok wajib halal kedua adalah untuk barang gunaan yang berbahan dasar kulit hewan seperti sepatu, tas, jaket dan sebagainya. Barang gunaan dari kulit hewan diperbolehkan, asal bukan dari kulit babi, dan telah diproses dengan sangat bersih. Sedangkan barang gunaan dari kulit babi haram digunakan meskipun sudah dilakukan penyamakan dan proses lain, tetap saja kulit babi haram digunakan.
Dalam Islam, menggunakan produk yang mengandung bahan dari babi, termasuk sepatu dari kulit babi, dianggap haram.
Ini didasarkan karena babi dianggap najis. Selain makanan, aturan ini meluas ke produk-produk seperti pakaian atau alas kaki yang dibuat dari kulit babi.
Jika seorang Muslim memakai sepatu yang mengandung bahan ini, maka hukumnya najis mutawassitah (najis sedang) yang bisa mengharuskan pembersihan dalam ibadah tertentu.
Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk teliti membaca komposisi bahan pada produk, terutama pada barang-barang yang mungkin saja mengandung kulit babi, guna menjaga kesucian dan kepatuhan pada hukum syariat.
Dalam Islam, "haram" merujuk pada sesuatu yang dilarang keras oleh Allah SWT dan memiliki konsekuensi dosa jika dilanggar. Segala hal yang haram ini ditegaskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah serta diperinci dalam hukum fikih. Beberapa contoh hal yang dianggap haram adalah konsumsi babi, alkohol, zina, riba, dan pencurian. Konsep haram ini bukan hanya mengatur tindakan atau makanan tertentu tetapi juga menjaga kesucian, moral, dan keadilan sosial, mengingat setiap larangan didasarkan pada kemaslahatan umat serta keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam praktik sehari-hari, umat Islam dituntut berhati-hati agar tidak melakukan sesuatu yang mendekati tindakan haram, karena tindakan tersebut berpotensi menjerumuskan seseorang ke dalam dosa. Larangan-larangan ini mencakup segala aspek kehidupan untuk membangun tata kehidupan yang baik, aman, dan terhindar dari kerugian.
Dalam Islam, istilah "haram" dan "najis" sering digunakan namun memiliki perbedaan mendasar. Haram merujuk pada segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, baik dalam bentuk tindakan atau konsumsi, dan mengakibatkan dosa jika dilakukan. Contohnya adalah minum alkohol atau berbohong. Segala hal yang haram dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadis, dengan tujuan menjaga moral dan kebaikan manusia.
Di sisi lain, najis merujuk pada benda atau zat yang dianggap kotor dan harus dihindari karena dapat mengganggu kesucian dalam ibadah. Contohnya adalah darah, air kencing, atau bangkai. Jika terkena najis, seorang Muslim harus membersihkan diri atau benda tersebut untuk kembali dalam keadaan suci, terutama sebelum melaksanakan ibadah seperti salat.
Dengan demikian, haram mengacu pada larangan secara hukum, sedangkan najis mengacu pada kondisi ketidaksucian yang mempengaruhi sahnya ibadah.