Tuesday, May 29, 2018

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy


Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseoran mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

“Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib…

Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana ‘abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustaz…InsyaALlah tempatmu di Syurga.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu,  aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami.”

Mendengar “khutbah” itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

“Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘buku kecil’. Adolf Roberto berusaha

memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. “Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.

“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!”ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.

“Ah…seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini.”

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak – kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara parau, 

“Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, 

“Abi…Abi…Abi…” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

“Hai…siapa kamu?!” jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. “Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawabnya memohon belas kasih. “Hah…siapa namamu budak, cuba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. “Saya Ahmad Izzah…” dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai budak…! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’…Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.”

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeria,

“Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut,

“Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tha…” Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.

“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. “Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,” Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah “Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah…’. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, ‘Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya…”

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah…

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah ALlah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS>30:30)

Syeikh Al-Islam Turki yang terakhir iaitu As-Syeikh Mustafa Al Basri telah menegaskan dalam bukunya …

Sekularisma yang memisahkan ajaran agama dengan kehidupan dunia merupakan

jalan paling mudah untuk menjadi murtad.

Dari :  Al-Manahil


Sumber :
https://www.arrahmah.com/al-ustadz-ahmad-izzah-al-andalusy/
http://palembang.tribunnews.com/2016/11/18/kisah-nyatajenderal-roberto-sang-algojo-kejam-yang-jadi-ulama-besar-usai-bertemu-sang-ayah?page=all

Wednesday, May 16, 2018

Nabi Ishaq

Nabi Ishaq AS merupakan anak kedua Nabi Idris AS setelah kelahiran Nabi Ismail dari istri pertamanya Siti Sarah. Nabi Ishaq AS terlahir di Kota Hebron Negara Palestina.

Pada suatu hari Nabi Ibrahim dan Siti Sarah kedatangan tiga tamu lelaki muda yang tampan ke rumahnya di Palestina. Nabi Ibrahim AS dan Siti Sarah menjamu mereka dengan makanan sapi panggang, namun hidangan yang lezat itu tidak disentuh tamunya. Karena  mereka bertiga berkata tidak mempunyai nafsu makan sama sekali.

Nabi Ibrahim AS telah menduga bahwa ketiga tamu itu merupakan malaikat yang akan menyampaikan suatu kabar penting untuk mereka. Para pemuda itu kemudian memberitahukan bahwa mereka merupakan malaikat yang diutus oleh Allah SWT untuk memberikan kabar gembira.

Ketiga malaikat yang menjelma menjadi pemuda yang tampan itu mengabarkan kalau Siti Sarah akan melahirkan seorang anak laki-laki. Mendengar hal itu Nabi Ibrahim AS dan Siti Sarah sangat gembira setelah sekian lama pernikahannya belum dikaruniai seorang anak.

Mereka juga terheran-heran, di usia mereka yang sudah tua dengan umur 90 dan 100 tahun dikaruniai anak. Itulah anugrah dari Allah SWT untuk mereka atas doa Siti Sarah yang tulus penuh keyakinan untuk mendapatkan anak berakhlak baik..

Para ketiga malaikat itu akhirnya pergi meninggal kediaman Nabi Ibrahim AS dan Siti Sarah. Hari demi hari mereka lalui menanti tidak sampai 1 tahun lamanya, akhirnya Siti Sarah melahirkan seorang putra yang selamat dengan sehat. Kemudian oleh Nabi Ibrahim AS di beri nama Ishaq, yang memiliki arti tertawa.

Telah jelas untuk kita semua atas firman Allah SWT dalam Alquran. Bahwa Nabi Ibrahim AS dan semua anak keturunannya mendapat hidayah dan rahmat dari Allah SWT. Karena mereka tidak pernah melakukan kemaksiatan sedikitpun.

Nabi Ishaq AS merupakan anak kedua Nabi Ibrahim AS setelah 14 tahun kelahiran Nabi Ismail AS. Nabi Ishaq AS menjadi penerus Nabi Ibrahim AS berdakwah untuk mengajak manusia bertakwa kepada Allah SWT.

Setelah sekian tahun di lalui Nabi Ibrahim AS mulai tua, namun Nabi Ishaq AS masih belum menikah juga. Kemudian Nabi Ishaq AS ingin menikahi  wanita Kan’an, tetapi Nabi Ibrahim AS tidak mengizinkan Nabi Ishaq dengan wanita Kan’an. Karena masyarakat Kan’an tidak mengenal Allah SWT serta asing terhadap keluarganya.

Pada akhirnya Nabi Ibrahim AS mengutus seorang pelayan untuk pergi ke Kota Harran Negara Irak untuk membawa perempuan dari keluarganya. Kemudian datanglah perempuan itu yang bernama Rafqah binti Batuwael bin Nahur, yang kemudian dinikahkanlah Rafqah dengan Nabi Ishaq AS.

10 tahun sudah Nabi Ishaq AS menikahi Rafqah, mereka dikaruniai 2 orang orang anak kembar. Anak pertama mereka bernama Al-Aish dan anak keduanya bernama Yaqub. Dan atas do’a yang dipanjatkan Nabi Ishaq A.S kepada Allah SWT, akhirnya Istrinya dapat menangdung dan melahirkan anak kembar yaitu ‘Iishuu yang merupakan nenek moyang bangsa Romawi dan Ya’qub yang merupakan nenek moyang Bani Israil.


Nabi Ishaq AS wafat pada usianya nya yang ke 180 tahun. Kemudian Beliau dimakamkan bersama ayahnya Nabi Ibrahim AS di Kota Khalil Negara Palestina.


Sumber :
https://lenterahidup.net/kisah-cerita-nabi-ishaq/
http://www.akidahislam.com/2017/04/inilah-25-mukjizat-para-nabi-dan-rasul.html
http://islamlogin.blogspot.co.id/2015/03/tomb-of-prophet-ishaq-upon-him-be-peace.html

Alasan Reza Rahadian Menjadi Mualaf

Reza Rahadian mengungkapkan transisi keyakinan yang ia alami dari Kristen ke Islam. Ada proses di balik keputusan Reza untuk berpindah agama...

Related Post