Wednesday, January 5, 2022

Hukum Memakai Cincin

Inilah Hikmah Mengapa Rasulullah Memakai Cincin
Senin 27 Apr 2015 11:59 WIB

Semula Rasulullah SAW memang enggan mengenakan cincin. Apalagi yang berbalut emas, jelas sangat dihindari. Pemakaian emas oleh kaum pria, dalam pandangan Islam, tidak diperbolehkan sebab dianggap menyerupai perempuan.

Atas permintaan para sahabat, seperti yang dinukilkan dari riwayat hadis riwayat Bukhari dan Muslim, akhirnya Rasul mulai berkenan mengenakan cincin yang berbahan perak. Sebab, tradisi para pemimpin negara ketika itu mereka memakai cincin, selain bentuk status sosial juga berfungsi sebagai stempel. Mulai saat itulah, Rasul gemar memakai cincin.

Berbagai upaya dilakukan untuk menguak rahasia dan hikmah di balik kegemaran Rasul itu. Salah satunya seperti yang tertuang dalam Fatawa Ibn Hajar al-Haytami al-Kubra. Buku ini mengutip beberapa dalil dari hadis dengan beragam derajat kesahihannya, yang berbicara perihal manfaat sunah pemakaian cincin seperti yang dicontohkan Rasul.

Al-Haitami menjelaskan, misalnya, dalam titik tertentu penggunaan cincin itu bisa memicu keberkahan hidup dan menjauhkan diri dari kefakiran. Bukan karena batu cincin itu mampu mendatangkan nikmat atau bala, sama sekali bukan. Melainkan nilai estetika dan keindahan yang tersimpan menyimpan energi positif yang berpengaruh membangkitkan semangat dan gairah pemakainya.   

Barangkali energi positif di balik keindahan yang diciptakan oleh yang Mahaindah itulah, yang menjadikan batu yaqut warna kuning, begitu istimewa. Meski dalil hadisnya lemah, batu itu disebut-sebut bisa mencegah pemakainya dari penyakit sampar. Dengan demikian, tak heran bila Rasul menyukai batu cincin dari Afrika dan Yaman, karena keelokannya.   

Apa pun bentuk cincin yang dikenakan, selama memenuhi ketentuan syari’inya, pada dasarnya akan memancarkan energi dari keindahan yang dipancarkan. Energi tersebut tentu tidaklah muncul dengan sendirinya.

Energi datang dari Sang Mahapencipta keindahan. Keindahan itu hanya akan menguap begitu saja, bila terkotori dengan keangkuhan, kesombongan, dan ambisi duniawi dari sebuah cincin. Sebab, Allah itu indah dan mencintai keindahan. Karena Dia pulalah sejatinya pemilik dari segala keindahan yang ada di muka bumi. 

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/15/04/27/nng8is-inilah-hikmah-mengapa-rasulullah-memakai-cincin


Batu Akik, Haramkah?
February 24, 2015

Bagaimana hukum memakai cincin batu akik? Apakah boleh ataukah haram dan dihukumi syirik?

Asal Pakai Cincin itu Boleh
Hal ini berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَتَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كِتَابًا – أَوْ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ – فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُمْ لاَ يَقْرَءُونَ كِتَابًا إِلاَّ مَخْتُومًا . فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ نَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis atau ingin menulis. Ada yang mengatakan padanya, mereka tidak membaca kitab kecuali dicap. Kemudian beliau mengambil cincin dari perak yang terukir nama ‘Muhammad Rasulullah’. Seakan-akan saya melihat putihnya tangan beliau.” (HR. Bukhari no. 65 dan Muslim no. 2092)

Keyakinan pada Batu Akik
Kalau batu akik dipakai sebagai hiasan di jari saja tak jadi masalah besar. Yang jadi masalah adalah jika diyakini sebagai batu akik tersebut sebagai penglaris, pengasihan, pelindung diri, pencegah penyakit, dan keyakinan lainnya yang tak terbukti ilmiahnya.

Berdasarkan keterangan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram (15: 217), ada tiga sebab yaitu bisa jadi terbukti secara syar’i (ada dalil), bisa jadi terbukti secara eksperimen, yang ketiga itu tidak terbukti secara syar’i dan eksperimen. Itu sebab jenis ketiga ini termasuk kesyirikan menurut beliau.

Jika ada yang memakai batu cincin akik lebih dari sekedar dipakai, yaitu punya keyakinan tambahan seperti batu akik dianggap sebagai penglaris dagangan, sebagaian pengasihan, diyakini sebagai pencegah dan penyembuh penyakit tanpa ada bukti ilmiah, berarti termasuk dalam kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” (QS. Az Zumar: 38)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah –penulis Fathul Majid– berkata, “Ayat ini dan semisalnya adalah dalil yang menunjukkan tidak bolehnya menggantungkan hati kepada selain Allah ketika ingin meraih manfaat atau menolak bahaya. Ketergantungan hati kepada selain Allah dalam hal itu termasuk kesyirikan.“ (Fathul Majid, 127-128). Sama halnya ketergantungan hati (tawakkal) hati pada benda seperti batu akik.

Dari ‘Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ « وَيْحَكَ مَا هَذِهِ ». قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ « أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ وَهْناً انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِىَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَداً

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat di lengan seorang pria terdapat gelang yang dinampakkan padanya. Pria tersebut berkata bahwa gelang itu terbuat dari kuningan. Lalu beliau berkata, “Untuk apa engkau memakainya?” Pria tadi menjawab, “(Ini dipasang untuk mencegah dari) wahinah (penyakit yang ada di lengan atas).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Gelang tadi malah membuatmu semakin lemah. Buanglah! Seandainya engkau mati dalam keadaan masih mengenakan gelang tersebut, engkau tidak akan beruntung selamanya.” (HR. Ahmad 4: 445 dan Ibnu Majah no. 3531)[1].

Dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim (43: 179), dari Hudzaifah, di mana ia pernah melihat seseorang memakai benang untuk mencegah demam, kemudian ia memotongnya. Lantas Hudzaifah membacakan firman Allah Ta’ala,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Begitu pula Waki’ pernah meriwayatkan dari Hudzaifah. Beliau pernah mengunjungi orang sakit. Lantas beliau melihat-lihat di lengan atas orang sakit tersebut dan mendapati benang. Hudzaifah pun bertanya, “Apa ini?” “Ini adalah sesuatu yang bisa menjagaku dari rasa sakit tersebut”, jawab orang sakit tadi. Lantas Hudzaifah pun memotong benang tadi. Lantas Hudzaifah berkata, “Seandainya engkau mati dalam keadaan engkau masih mengenakan benang ini, aku tidak akan menyolatkanmu” (Fathul Majid, 132).

Lihatlah bagaimana sikap keras para sahabat bagi orang yang mengenakan jimat untuk melindungi dirinya dari sakit, dalam rangka meraih maslahat. Jimat tersebut sampai dipotong, walau tidak diizinkan. Dalam penjelesan di atas menunjukkan bahwa seseorang bisa berdalil dengan ayat yang menjelaskan tentang syirik akbar (besar) untuk maksud menjelaskan syirik ashgor (kecil) karena kedua-duanya sama-sama syirik (Lihat Fathul Majid, 132).

Kesimpulannya, memakai batu akik asalnya boleh selama tidak ada keyakinan syirik di dalamnya. Yang jadi masalah adalah jika diyakini sebagai batu akik tersebut sebagai penglaris, pengasihan, pelindung diri, pencegah penyakit, dan keyakinan lainnya yang tak terbukti ilmiahnya.

Adapun hadits-hadits yang membicarakan keutamaan batu akik, mendatangkan manfaat dan khasiat tertentu, kebaikan demikian dan demikian adalah hadits-hadits yang tidak shahih yang tidak bisa dijadikan argumen.

Wallahu waliyyut taufiq. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

[1] Al Hakim mengatakan, “Kebanyakan guru kami berpendapat bahwa Hasan Al Bashri mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron (Lihat Fathul Majid, 128). Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz termasuk ulama yang menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid, artinya tidak bermasalah (Fatawa Nur ‘ala Darb, 1: 383). Ulama lain mengatakan bahwa Al Hasan Al Bashri tidak mendengar hadits ini langsung dari ‘Imron, sehingga sanad hadits ini inqitho’ (terputus). Inilah pendapat Ibnu Ma’in, Ibnu Abi Hatim dan Ahmad. Oleh karenanya, hadits ini lemah, walaupun maknanya shahih (Lihat Syarh Kitabit Tauhid, 54).

https://rumaysho.com/10363-batu-akik-haramkah.html


Hukum Memakai Cincin Batu Akik
Bagaimana hukum memakai cincin batu akik?
8 Mei 2018

Pada dasarnya, semua perkara agama yang berkaitan dengan keseharian manusia telah diatur secara jelas dan terperinci oleh Allah Swt dalam al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam Hadis-Hadisnya. Terkait dengan fenomena batu Akik di atas, menurut hemat kami persoalan tersebut berada dalam ranah kebolehan semata.

Hal itu berdasarkan sebuah kaedah umum dalam disiplin Ilmu Qawaid Fiqh yang menyebutkan bahwa hukum asal muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Kalau diperhatikan secara seksama maka tidak ditemukan dalil khusus yang mengharamkan atau pun yang menganjurkan seseorang untuk menggunakan batu cincin yang terbuat dari Akik tersebut.

Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Umar ibn Ahmad al-Sufayri dalam karyanya Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa Rasulullah Saw selama hidupnya mempunyai lebih kurang lima koleksian cincin. Pertama, cincin dari emas yang sempat beliau gunakan sebelum turunnya larangan memakai emas bagi kaum laki-laki.

Ketika mengetahui beberapa orang sahabat mengikutinya, Rasulullah pun segera membuang serta mengharamkan cincin tersebut untuk umatnya yang laki-laki. Kedua, cincin dari perak yang matanya juga terbuat dari perak. Ketiga, cincin dari perak yang matanya terbuat dari merjan (sejenis Akik).

Keempat, cincin dari besi yang dilapisi perak. Kelima, cincin dari perak yang matanya terbuat dari batu Akik. Hal ini sebagaimana yang pernah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya :

كَانَ خَاتَمُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنْ وَرِقٍ وَكَانَ فَصُّهُ حَبَشِيًّا

“Cincin Rasulullah Saw terbuat dari perak, sedangkan mata cincinnya terbuat dari batu Habasyi (Akik)”

Para ulama seperti Imam al-Nawawi, Ibn Hajar dan al-Sufayri mengatakan bahwa memakai cincin yang bermatakan Akik hukumnya adalah boleh. Begitu pula dengan batu Yaqut (sejenis batu mulia) juga dibolehkan, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Memang ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw menganjurkan para sahabat untuk menggunakan cincin Akik dan Yaqut, karena benda tersebut dinilai bisa mendatangkan keberkahan dan dapat mengusir kegundahan serta kemiskinan.

Namun setelah diteliti ternyata riwayat tersebut tidak valid bersumber dari Nabi Saw. Berikut bunyi riwayat tersebut

تَخَتَّمُّوْا بِالْعَقِيْقِ فَإِنَّهُ مُبَارَكٌ، تَخَتَّمُّوْا بِخَوَاتِمِ الْعَقِيْقِ فَإِنَّهُ لَا يُصِيْبُ أَحَدَكُمْ غَمٌّ مَا دَامَ ذَلِكَ عَلَيْهِ، تَخَتَّمُّوْا بِالْيَاقُوْتِ فَإِنَّهُ يَنْفِيْ الْفَقْرَ

Rasulullah Saw bersabda “hendaklah kamu memakai cincin dari Akik, karena sesungguhnya ia mengandung keberkahan.

Pakailah cincin tersebut, niscaya kamu tidak akan dihinggapi oleh rasa gundah selama cincin itu bersamamu. Dan pakailah cincin dari Yaqut karena ia bisa menghilangkan kemiskinan”. (HR. al-‘Uqayli, al-Khathib, dan Ibn ‘Asakir)

Imam al-‘Uqayli dalam karyanya, kitab al-Dhu’afa al-Kabir, mengatakan bahwa riwayat ini bermasalah dari segi sanadnya, karena diriwayatkan oleh seorang pembohong besar yang bernama Ya’qub bin al-Walid al-Madini.

Imam Ibn al-Jauzi mengategorikannya sebagai Hadis Maudhu’ (palsu) dalam kitabnya al-Maudhu’at. Begitu pula al-Mahamili, Ibn ‘Adi, al-Khathib al-Baghdadi, dan bahkan al-Dzahabi menganggap Ya’qub bin al-Walid sebagai seorang pemalsu Hadis dan Hadisnya tidak bisa diterima sama sekali.

Sementara itu Hamzah al-Ashbihani sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi dalam Jami’ al-Ahadits-nya menilai bahwa Hadis ini tergolong Mushahhaf (redaksinya tertukar) dengan Hadis :

تَخَيَّمُوا بِالْعَقِيقِ فَإِنَّهُ مُبَارَكٌ

Rasulullah Saw bersabda “Berkemahlah kalian di ‘Aqiq (sebuah lembah di Madinah), karena sesungguhnya di sana terdapat keberkahan!”. (HR. Bukhari)

Dengan demikian, Hadis anjuran untuk memakai cincin dari Akik di atas tergolong Hadis yang bermasalah. Ia tidak bisa dijadikan sebagai dalil kesunahan untuk menggunakannya.

Sulayman al-Asyqar dalam karyanya Af’al al-Rasul mengategorikan perbuatan seperti di atas sebagai perbuatan Nabi yang tidak mengandung nilai tasyri’ sama sekali sehingga tidak mesti diikuti. Hukumnya adalah boleh selama tidak ada unsur lain yang membawanya kepada hal-hal yang dilarang oleh agama seperti israf (berlebih-lebihan) -sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat ke-31 Surah al-A’raf-, tabzir (mubazir) –sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-Isra ayat ke-26-27, serta keyakinan bahwa batu tersebut bisa mendatangkan keberuntungan-keberuntungan tertentu, karena hal tersebut berpotensi merusak akidah seorang muslim.

Wallahu A’lam.

Artikel ini sebelumnya dimuat di majalahnabawi.com

https://islami.co/hukum-memakai-cincin-batu-akik/

Haramnya Sebuah Sepatu dari Kulit Babi

Memang, sesuai fungsinya, sepatu digunakan sebagai alas kaki dan tidak masuk ke dalam tubuh manusia. Menurut syariat Islam, babi dengan sega...

Related Post